Dampak Global Warming di Kota Cirebon
Isu global warming memang mengundang perhatian dunia, sebab terjadinya pemasanan global tersebut menjadi ancaman bagi kehidupan manusia. Berbagai upaya termasuk kampanye penyadaran masyarakat agar peduli pada alam terus digalakan. Lalu seperti apa dampak global warming yang sudah dirasakan masyartakat Cirebon?
SADAR atau tidak, suhu di kota ini semakin lama semakin panas. Perubahan musim pun terjadi dengan ekstrim, siang hari panas, namun mendadak turun hujan lebat, tiupan angin yang biasa menjadi pertanda peralihan dari musim hujan ke musim panas kini seolah tidak lagi menjadi pertanda. Parahnya, perubahan cuaca yang tidak menentu tersebut dibarengi dengan peningakatan suhu udara dalam lima tahun terakhir.
Berdasarkan data Kantor Pengelola Lingkungan Hidup (KPLH), peningkatan suhu di Kota Cirebon mencapai 1 derajat celcius, sebelumnya peningakatan berkisar pada 0,5 derajat celcius. Peningakatan suhu walaupun hanya 0,5 derajat celcius tentunya membawa rentetan pengaruh baik pada alam maupun manusia. Pengaruh tersebut misalnya adalah cuaca yang semakin panas dan munculnya berbagai penyakit kulit karena efek sengatan matahari dan alergi. Sementara pada tanaman, pengaruh peningkatan suhu membuat tanaman menjadi lebih cepat kering dan menguning karena air lebih cepat menguap.
Masih berdasarkan data yang dikeluarkan KPLH, suhu udara di Kota Cirebon saat ini berkisar pada 32-34 derajat celcius. Suhu udara dalam kisaran tersebut tentu saja cukup untuk membuat kita kepanasan saat berada di bawah terik matahari.
Menurut Kepala Seksi Amdal KPLH, Abing Rajadi, pengukuran suhu udara di Kota Cirebon dilakukan di sepuluh titik berbeda. Di antaranya adalah Gunungsari, Jl Siliwangi, Jl Krucuk, Jl Karanggetas, Jl Lawanggada, Jl Birgjen Dharsono (by pass), Jl Ciremai Raya, kawasan Pegambiran, Terminal Harjamukti, dan Jl Rajawali.
“Peningkatan suhu tersebut faktor penyebab dominannya adalah sektor transportasi. Kira-kira 60 persen penyebab terdongkrak naiknya suhu udara adalah karena emisi carbon monoksida,” terangnya saat ditemui Radar, kemarin (27/5).
Dijelaskan, selain sektor transportasi, sektor lainnya yang juga turut menyumbang efek rumah kaca adalah gas metan yang dihasilkan dari tempat pembuangan akhir (TPA). Kota Cirebon, kata dia, memiliki TPA yang menghasilkan gas metan yang juga menjadi salahsatu penyebab pemanasan global, selain gas lainnya seperti sulfur oksida (SO2). Abing mengakui, penanganan masalah pemanasan global belum terlalu signifikan, karena hal itu melibatkan peran serta masyarakat, khusunya pemakaian produk-produk yang menyumbang peningkatan suhu udara seperti freon pada air conditioning (AC).
Peran serta masyarakat, juga dibutuhkan dalam penghijauan, seperti yang dikampanyekan oleh sejumlah tokoh, yaitu satu orang satu pohon. Dan, untuk lingkup kota, sudah diatur untuk memenuhi standar 30 persen ruang terbuka hijau (RTH) dan kawasan konservasi untuk mengurangi dampak pemanasan global. “Sayangnya, keberadaan RTH di Kota Cirebon sungguh memprihatinkan. Sehingga, upaya untuk menekan dampak global warming belum bisa dirasakan secara signifikan, padahal hal itu sangat urgen,” tandasnya.
Menurut Abing, saat ini terdapat sejumlah lokasi yang memerlukan reboisasi seperti kawasan Gunungsari, Jl Karanggetas, Jl Pekiringan, dan Jl Pekalipan. “Kawasan-kawasan tersebut sudah jarang ditumbuhi pohon dan tentunya perlu langkah-langkah konservasi,” ujarnya.
Sementara itu, anggota Komisi B DPRD Kota Cirebon, Citoni meminta pemerintah agar memenuhi standar 30 persen RTH. Sebab, standar tersebut akan berdampak signifikan terhadap pengurangan dampak global warming di Kota Cirebon.
“Memang sampai saat ini program pemerintah untuk masalah global warming masih belum berdampak signifikan, oleh sebab itu diperlukan upaya-upaya serius agar kondisi alam di Kota Cirebon tetap baik,” kata dia.
Selain itu, sambung dia, peran serta masyarakat dan kesadaran untuk menjaga keseimbangan lingkungan juga sangat penting. Sebab, bagaimanapun program pemerintah tidak akan berhasil tanpa dukungan masyarakat.
Isu global warming memang mengundang perhatian dunia, sebab terjadinya pemasanan global tersebut menjadi ancaman bagi kehidupan manusia. Berbagai upaya termasuk kampanye penyadaran masyarakat agar peduli pada alam terus digalakan. Lalu seperti apa dampak global warming yang sudah dirasakan masyartakat Cirebon?
SADAR atau tidak, suhu di kota ini semakin lama semakin panas. Perubahan musim pun terjadi dengan ekstrim, siang hari panas, namun mendadak turun hujan lebat, tiupan angin yang biasa menjadi pertanda peralihan dari musim hujan ke musim panas kini seolah tidak lagi menjadi pertanda. Parahnya, perubahan cuaca yang tidak menentu tersebut dibarengi dengan peningakatan suhu udara dalam lima tahun terakhir.
Berdasarkan data Kantor Pengelola Lingkungan Hidup (KPLH), peningkatan suhu di Kota Cirebon mencapai 1 derajat celcius, sebelumnya peningakatan berkisar pada 0,5 derajat celcius. Peningakatan suhu walaupun hanya 0,5 derajat celcius tentunya membawa rentetan pengaruh baik pada alam maupun manusia. Pengaruh tersebut misalnya adalah cuaca yang semakin panas dan munculnya berbagai penyakit kulit karena efek sengatan matahari dan alergi. Sementara pada tanaman, pengaruh peningkatan suhu membuat tanaman menjadi lebih cepat kering dan menguning karena air lebih cepat menguap.
Masih berdasarkan data yang dikeluarkan KPLH, suhu udara di Kota Cirebon saat ini berkisar pada 32-34 derajat celcius. Suhu udara dalam kisaran tersebut tentu saja cukup untuk membuat kita kepanasan saat berada di bawah terik matahari.
Menurut Kepala Seksi Amdal KPLH, Abing Rajadi, pengukuran suhu udara di Kota Cirebon dilakukan di sepuluh titik berbeda. Di antaranya adalah Gunungsari, Jl Siliwangi, Jl Krucuk, Jl Karanggetas, Jl Lawanggada, Jl Birgjen Dharsono (by pass), Jl Ciremai Raya, kawasan Pegambiran, Terminal Harjamukti, dan Jl Rajawali.
“Peningkatan suhu tersebut faktor penyebab dominannya adalah sektor transportasi. Kira-kira 60 persen penyebab terdongkrak naiknya suhu udara adalah karena emisi carbon monoksida,” terangnya saat ditemui Radar, kemarin (27/5).
Dijelaskan, selain sektor transportasi, sektor lainnya yang juga turut menyumbang efek rumah kaca adalah gas metan yang dihasilkan dari tempat pembuangan akhir (TPA). Kota Cirebon, kata dia, memiliki TPA yang menghasilkan gas metan yang juga menjadi salahsatu penyebab pemanasan global, selain gas lainnya seperti sulfur oksida (SO2). Abing mengakui, penanganan masalah pemanasan global belum terlalu signifikan, karena hal itu melibatkan peran serta masyarakat, khusunya pemakaian produk-produk yang menyumbang peningkatan suhu udara seperti freon pada air conditioning (AC).
Peran serta masyarakat, juga dibutuhkan dalam penghijauan, seperti yang dikampanyekan oleh sejumlah tokoh, yaitu satu orang satu pohon. Dan, untuk lingkup kota, sudah diatur untuk memenuhi standar 30 persen ruang terbuka hijau (RTH) dan kawasan konservasi untuk mengurangi dampak pemanasan global. “Sayangnya, keberadaan RTH di Kota Cirebon sungguh memprihatinkan. Sehingga, upaya untuk menekan dampak global warming belum bisa dirasakan secara signifikan, padahal hal itu sangat urgen,” tandasnya.
Menurut Abing, saat ini terdapat sejumlah lokasi yang memerlukan reboisasi seperti kawasan Gunungsari, Jl Karanggetas, Jl Pekiringan, dan Jl Pekalipan. “Kawasan-kawasan tersebut sudah jarang ditumbuhi pohon dan tentunya perlu langkah-langkah konservasi,” ujarnya.
Sementara itu, anggota Komisi B DPRD Kota Cirebon, Citoni meminta pemerintah agar memenuhi standar 30 persen RTH. Sebab, standar tersebut akan berdampak signifikan terhadap pengurangan dampak global warming di Kota Cirebon.
“Memang sampai saat ini program pemerintah untuk masalah global warming masih belum berdampak signifikan, oleh sebab itu diperlukan upaya-upaya serius agar kondisi alam di Kota Cirebon tetap baik,” kata dia.
Selain itu, sambung dia, peran serta masyarakat dan kesadaran untuk menjaga keseimbangan lingkungan juga sangat penting. Sebab, bagaimanapun program pemerintah tidak akan berhasil tanpa dukungan masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar